es akan dengan sendirinya terbangun dengan cepat oleh masyarakat sendiri
segera setelah pemerintah membangun pilotproject
jaringan akses, misalnya dalam
bentuk telecenter atau pun jaringan intenet sekolah. Warnet‐warnet akan tumbuh
berkembang dengan pesat karena corenetwork
sudah tersedia.
VII. Sinergi Pemerintah dan Swasta
Sejak terbitnya UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Indonesia berpindah
dari sistem monopoli menjadi oligopoli (multi‐operator dengan kompetisi terbuka).
Kebijakan ini tentu mengubah pola pikir “cabang usaha yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat”. Usaha
penyelenggaraan TIK dilakukan oleh swasta dan BUMN yang juga harus berpikir
swasta. Setiap penyelenggara swasta yang profitoriented
ini tentu akan berpikir
1000‐kali untuk membangun di wilayah‐wilayah yang dianggap tidak profitable.
Sementara itu, lebih dari 50% warga negara tinggal di pedesaan. Populasi terbanyak
terpusat di pulau Jawa. Akibatnya, secara alamiah, para penyelenggara TIK enggan
membangun di wilayah yang populasi dan tingkat kesejahteraannya rendah karena
dianggap belum bisa menguntungkan. Di sisi lain, ketersediaan akses informasi
merupakan kebutuhan dasar untuk dapat mengangkat kualitas hidup masyarakat
yang tertinggal dan dapat menjadi sarana peningkatan produksi dan efisensi bagi
masyarakat yang sudah maju. Karena itu diperlukan kerjasama atau sinergi antara
Pemerintah dan swasta dalam upaya‐upaya penyediaan sarana dan prasarana TIK
di seluruh wilayah NKRI.
Pengusaha swasta yang profitoriented
diharapkan mempercepat pembangunan di
wilayah yang daya‐belinya sudah mencukupi. Dari hasil usahanya itu, lalu sebagian
disetor ke negara sebagai kontribusi USO dari semua pengusaha TIK yang besarnya
saat ini adalah 1,25% x grossrevenue
(PP 07 tahun 2009 tentang Tarif PNBP).
Menkominfo perlu mengatur sinergi antar penyelenggara TIK dalam membangun
corenetwork
karena rentan terjadi oversupply
(duplikasi infrastruktur) yang secara
nasional dapat memboroskan investasi dan dapat mengakibatkan usaha gagal, lalu
kredit macet atau saham “bodong”. Ini adalah bagian dari tugas Pemerintah dalam
memberi perlindungan terhadap investasi.
Pemerintah berkewajiban mengupayakan tersedianya akses informasi (bukan
hanya jaringan akses) untuk wilayah‐wilayah yang dianggap belum menguntungkan
oleh para penyelenggara. Masyarakat global menyebut kewajiban pemerintah ini
dengan universal service obligation (USO. Program USO atau kewajiban pelayanan
universal (KPU) adalah membangun atau menyediakan connectivity untuk seluruh
warga agar mereka semua dapat mengakses informasi dan dapat berhubungan satu
dengan yang lainnya. Yang melaksanakan program USO adalah Pemerintah dengan
dana sebagian (besar) berasal dari kontribusi penyelenggara TIK.
Pemerintah juga berkewajiban mendorong pemanfaatan TIK untuk pemerintahan.
Karena masalah transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan produktifitas dari kinerja
pemerintahan akan sebagian besar dapat diselesaikan dengan memanfaatkan TIK.
DETIKNAS telah mencanangkan 10‐flagship TIK nasional. Maka harus dilanjutkan
dengan aksi‐strategis dengan kerangka pikir sebagaimana diusulkan dalam uraian
sebelumnya (Visi dan Strategi TIK‐Indonesia). Arahan DeTIKnas sudah seharusnya
menjadi anutan utama dalam membangun jaringan TIK broadband nasional. Sinergi
yang sebaiknya dibangun adalah digambarkan berikut ini.
bersama kita bisa ____ 7
Dengan pembagian peran yang baik di antara Pemerintah dan Swasta dalam
membangun jaringan TIK nasional, akan diperoleh hasil sebagaimana yang telah
dicapai oleh negara‐negara maju di dunia. Dengan biaya yang tidak mahal dan sudah
tersedia sebagian, semua yang diharapkan di atas akan dapat diwujudkan. Sebagai
gambaran nyata, berikut disajikan ilustrasi sebagian jaringan yang dapat dibangun
menggunakan dana yang sudah ada, yaitu dana kontribusi USO dari penyelenggara.
Dana sudah tersedia dan pungutan/kontribusi terus berlanjut. Yang diperlukan saat
ini hanyalah aturan yang lebih tepat tentang pengelolaan dana USO tersebut. Saat ini
BTIP(pengelola dana USO) berstatus badan layanan umum (BLU) yang berarti harus
melaksanakan proses bisnis. Padahal tugas pokoknya adalah sebagai “panitia tetap”
lelang dan pengawas pembangunan jaringan TIK di wilayah USO. Selama ber‐status
BLU, maka BTIP akan terikat pada aturan tentang kesehatan bisnis BLU. Bila
Menteri Keuangan menilai tidak sehat, maka status BLU dapat dicabut. Singkat kata,
filosofi BLU sangat berbeda dengan filosofi “membangun jaringan nasional TIK”.
bersama kita bisa ____ 8
VIII. Target yang tidak muluk dan tidak abstrak
Membangun jaringan TIK nasional adalah suatu pekerjaan yang nyata dan mudah
dilakukan. Biayanya pun tidak mahal dibandingkan biaya membangun infrastruktur
yang lain, tapi dampak ekonominya jauh lebih besar. Indikator capaiannya sangat
jelas, baik kualitatif apalagi kuantitatif. Hal ini berlaku di seluruh dunia, karena
teknologi TIK adalah penggerak utama ekonomi dunia saat ini. Berikut ini disajikan
target WSIS (world summit on information society–ITU) yang merupakan commonsense
dari seluruh negara.
Sekali lagi disampaikan bahwa TIK adalah komoditas utama dekade ini. Bagi negara
konsumen teknologi seperti Indonesia, yang terpenting adalah memanfaatkan TIK
sebagai tool dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi di semua sektor. Untuk
itu, menyediakan infrastruktur jaringan TIK bagi seluruh warga negara adalah prasyarat
untuk dapat melibatkan seluruh warga negara dalam meningkatkan kualitas
hidupnya dalam takarannya masing‐masing.
IX. Gambaran kebutuhan Dana
Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan 2‐tahun yang lalu dalam Proyek
Palapa‐Ring, jumlah dana yang diperlukan untuk kawasan timur Indonesia tidaklah
terlalu besar. Berikut ini disajikan rangkumannya. Perlu diperhatikan bahwa ini
hanyalah untuk menghubungkan kota kabupaten saja.
Awalnya diharapkan dibangun oleh konsorsium penyelenggara TIK. Namun karena
dianggap belum layak secara komersial, maka konsorsium yang telah dibentuk
mundur perlahan. Hal ini dapat dimaklumi karena biaya di atas belum mencakup
9
jaringan distribusi (penghubung antar kecamatan dalam kabupaten) yang biayanya
bisa lebih besar. Apabila corenetwork
ini terbangun, maka penyelenggara TIK akan
bersemangat membangun jaringan di bawahnya secara bertahap wilayah‐demiwilayah
hingga seluruh pelosok Indonesia terjangkau jaringan TIK.
bersama kita bisa ____ 10
Apabila sebagian anggaran pendidikan nasional yang 20% dari APBN yang 1000‐T
digunakan untuk membangun corenetwork
nasional kawasan timur Indonesia dan
membangun pilotproject
berupa telecenter atau perpustakaan digital di beberapa
tempat, maka waktu pencapaian sasaran akan semakin singkat. Ilustrasi pendanaan
dan penjadwalannya adalah sebagai berikut.
Asumsi:
‐ Anggaran pendidikan nasional per tahun = Rp. 200 trilyun;
‐ 2% saja untuk core jaringan TIK nasional = Rp. 4 trilyun;
‐ Pungutan kontribusi USO dari pengusaha = Rp. 1,3 trilyun;
‐ Maka Total anggaran per tahun adalah = Rp. 5,3 trilyun per tahun.
Dana yang dibutuhkan untuk infrastruktur core jaringan TIK nasional:
‐ Penghubung kabupaten kawasan timur Indonesia = Rp. 7,5 trilyun;
‐ Ada 84‐kabupaten dan 1661‐kecamatan, bila untuk pilot project dan saluran
fiberoptik
ke tiap kecamatan di‐awali dengan 10‐milyar, berarti diperlukan
dana sekitar Rp. 17 trilyun.
‐ Maka total kebutuhan dana untuk backbone dan distribusi = Rp. 24,5 trilyun.
Dengan dana per tahun sebesar 5,3 trilyun di atas, dalam 5‐tahun semua kecamatan
di kawasan timur Indonesia akan terhubung dengan fiberoptic
(broadband).
X. Penutup
Tulisan ini adalah sekedar kontribusi pemikiran dari seorang tukang‐insinyur TIK.
Tidak dimaksudkan untuk menggurui, karena penulis tahu bahwa banyak pakar TIK
di negeri ini. Namun mungkin sangat sibuk, sehingga tidak sempat menuliskan dan
berbagi apa yang dimiliki. Kami saja yang kebanyakan waktu luang sehingga sempat
menulis tulisan ini. Semoga ada yang mau membaca dan membawa manfaat. Andai
benar adanya, kami sangat berterima kasih karena ada kemungkinan kami akan
mendapat pahala dari yang maha kuasa. Amin.
Pada saat negara lain sudah sangat maju berkat pemanfaatan TIK yang baik, bila
Indonesia tidak segera mengejar ketertinggalannya, maka dipastikan kesenjangan
itu akan menjadi semakin besar. Daya saing nasional akan semakin lemah, wilayah
kepulauan yang beribu jumlahnya akan semakin terbengkalai. NKRI akan terancam
keutuhannya. Jaringan TIK broadband nasional lah perekatnya.
Andai Presiden SBY mengetahui hal yang kami tulis ini, pasti beliau dalam waktu
yang sangat singkat akan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan
dan pelaksanaan USO‐broadband Indonesia. Karena dana sudah ada dan pungutan
terus berjalan. Saat ini saja sudah terkumpul 3,5 Trilyun di rekening BTIP‐Ditjen
Postel dan setiap tahun terkumpul sebesar 1,3 Trilyun Rupiah. Cukup hanya dengan
membuat sebuah PP, maka peruntukan dana ini akan menjadi sesuai dengan
rencana semula dan pembangunan jaringan TIK broadband nasional akan tertata
dengan jauh lebih baik. Bapak Presiden akan nyaman menggunakan i‐Pad dimana
saja di seluruh negeri, kualitas pendidikan di semua sekolah dapat meningkat pesat,
industri kreatif khas daerah berbasis kearifan lokal akan tumbuh dan mengurangi
urbanisasi, pengenalan potensi daerah menjadi lebih mudah, komunikasi antara
pusat dan daerah menjadi lebih intens, dan persatuan NKRI menjadi jauh lebih kuat
karena corenetwork
terbangun dengan lebih terstruktur.