Kamis, 23 Mei 2013
sedih deh susah cari nara sumber
aih eike jadi sedih pengen bikin karya ilmiah aja tapi kok sulit ya cari nara sumber ada yang punya kenalan gak buat eike tanya2...
Sabtu, 18 Mei 2013
ICT masterplan kenya
Hai ..ketemu lagi
nemu ini nih
ternyata ada ICT masterplan kenya ..kenya itu loh negara di afrika berbatasan dengan ethiopia..negara yang dulu suka dibilang negara menyedihkan karena banyak orang kelaparn ...yang tentunya dibanding indonesia masih bagus indonesia lah ..kenya di wikipedia kenya ingin punya visi menjadi negara di afrika yang paling dihargai secara pengetahuan ekonomi
setiap penduduk terko
National ICT Masterplan 2012-2017- "Inclusion. Innovation. Beyond Broadband"
Vision: "Kenya becomes Africa’s most globally respected knowledge economy"
Goals by 2017...
Goal 1: Every citizen, resident, home and institution will be connected through a countrywide robust, accessible and affordable ICT infrastructure.
Goal 2: Kenya will become the leading ICT HUB in African attracting leading global players and generating globally respected local entrepreneurship and innovation.
Goal 3: Public Services will be available to all citizens through ICT. ICT will enable a truly open and efficient Government delivering meaningful value to citizens.
Goal 4: Kenya will be a Knowledge Based Economy. All Kenyans will be able to use ICT to improve their knowledge, businesses and livelihood. ICT will contribute greatly to Kenya’s economic growth.
Selasa, 07 Mei 2013
Index kesiapan berjenjang 2012
Indeks Kesiapan Berjejaring Indonesia 2012
Salah satu faktor yang menentukan kemenangan pasangan Jokowi-Basuki dari Fauzi-Nachrowi dalam Pilkada DKI minggu lalu adalah penggunaan yang intensif dari teknologi informasi dan komunikasi dalam menyebarluaskan visi dan program, menarik perhatian pemilih baru, melawan berbagai isu yang dilontarkan di forum nyata, dan lain-lain. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang berwujud telpon genggam dan komputer sebagai raga dan kandungan informasi (internet) sebagai nyawa, yang saling terhubung melalui kabel atau gelombang udara, memang telah memasuki berbagai ranah kehidupan. Perkembangan TIK berlangsung pesat di seluruh dunia, dan memberikan dampak yang besar pada perorangan, bisnis dan pemerintah. TIK mengurangi kendala jarak fisik, jarak psikologis, dan jarak ekonomi; memungkinkan orang untuk berkomunikasi dan menyumbangkan informasi dan gagasan secara bebas ke seluruh dunia dalam waktu sekejap.Sudah terbukti di banyak negara bahwa TIK mendorong inovasi dan kreativitas, menambah lapangan kerja, meningkatkan produktivitas. Dijitisasi informasi juga selain mewujudkan pemilu yang demokratis, cepat dan murah seperti di Jakarta tersebut, juga memperluas akses publik terhadap layanan pemerintah, meningkatkan transparansi, mengurangi korupsi; mendorong terbentuknya berbagai komunitas sehingga meningkatkan keguyuban (kohesivitas) sosial, dan tentunya juga meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa. Namun tidak setiap negara memperoleh manfaat yang sama besarnya, ada faktor-faktor lain yang juga berpengaruh.
Atas dasar pertimbangan itulah, World Economic Forum (WEF) dan INSEAD meneliti perkembangan TIK, penggunaannya dan dampaknya di seluruh dunia, dan menuangkan hasilnya dalam suatu indeks yang terukur sehingga dapat diperbandingkan antara satu negara dengan negara lain.[1] Ada empat hal utama yang diteliti, yaitu:
- kerangka peraturan dan sikap pemerintah terhadap ekonomi terkait dengan perkembangan TIK;
- tingkat kesiapan negara (pemerintah, bisnis dan perorangan) untuk menggunakan sarana dan prasarana TIK;
- upaya yang dilakukan para pelaku untuk meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan TIK dan bagaimana menggunakan kemampuan itu dalam kehidupan sehari-hari; dan
- dampak ekonomi dan sosial yang diperoleh negara dari penggunaan TIK.
Indeks Kesiapan Berjejaring
Laporan tahunan The Global Information Technology Report 2012 yang diterbitkan WEF dan INSEAD memuat urutan negara-negara di dunia menurut Indeks Kesiapan Berjejaring (Networked Readiness Index). Indeks Kesiapan Berjejaring (selanjutnya disingkat IKB) mengukur tingkat kemajuan negara-negara atas dasar kecanggihan teknologi informasi dan komunikasinya. IKB dibangun dari 4 unsur atau sub-indeks, dan setiap sub-indeks dibentuk dari 10 pilar, dan setiap pilar dibentuk dari beberapa indikator. Total ada 53 indikator yang digunakan untuk mengukur kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini. Ke empat sub-indeks tersebut adalah lingkungan (environment), kesiapan (readiness), penggunaan (usage) dan dampak (impact). Ke 10 pilar dan beberapa indikator penting akan diuraikan saat menjelaskan hasil perlombaan antar bangsa dalam kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi berikut ini.
a. Tingkat Global
Pada tingkat global, juara pertama lomba kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi menurut WEF tahun ini adalah Swedia, disusul oleh negara tetangga Singapura, kemudian negara-negara Eropa lain (Finlandia, Denmark, Swiss, Belanda, Norwegia), selanjutnya AS, Kanada dan Inggris. Negara Asia lain yang menempati posisi puncak adalah Taiwan (ke 11), Korea Selatan (ke 12), Hong Kong (ke 13), dan Jepang (ke 18).[2] Indonesia sendiri ternyata berada pada peringkat ke 80 dari 142 negara yang disurvei.
b. Tingkat ASEAN
Pada tingkat Asia Tenggara, setelah Singapura, Malaysia adalah negara yang tertinggi tingkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasinya, disusul oleh Brunei Darussalam dan Thailand, baru kemudian Indonesia dan negara-negara lain. Perbedaan peringkat antara juara ke dua (Malaysia, ke 29) dan ke 3 (Brunei Darussalam, ke 54) sangat jauh, yaitu 25 tingkat, demikian juga antara negara peringkat ke tiga dan ke empat (Thailand, ke 77) cukup jauh (17 tingkat). Lihat Tabel 1. Sedangkan antara Indonesia (ke 80) dan Thailand (ke 77) hanya terpaut 3 tingkat. Perbedaan antara peringkat Indonesia dengan negara-negara yang peringkatnya lebih tinggi mengindikasikan akan sulitnya Indonesia mendapat medali perunggu dalam bidang IT di ASEAN, yang saat ini dipegang oleh negara tetangga yang berpenduduk hanya 400 ribu jiwa (Brunei Darussalam), apalagi untuk mengungguli juara kedua, yaitu Malaysia.
Pada pihak lain, perbedaan peringkat antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain yang peringkatnya lebih bawah, ternyata tidak terlalu jauh, hanya terpaut 3 tingkat, yaitu Vietnam (ke 83) dan Filipina (ke 86). Ini artinya, Indonesia dengan mudah dapat dilampaui oleh ke dua negara tersebut. Adapun negara-negara ASEAN lain yang berada di urutan terbawah adalah Kambodia (ke 108) dan negara tetangga dekat Timor Leste (ke 132). Dibandingkan dengan China (ke 51) dan India (ke 69), Indonesia juga tertinggal relatif jauh, yaitu 30 dan 10 tingkat berturut-turut.
Tabel 1. Indeks Kesiapan Berjejaring ASEAN, China dan India; 2012
No | Negara | Indeks Kesiapan Berjejaring |
1 | Singapura | 2 |
2 | Malaysia | 29 |
3 | Brunei Darussalam | 54 |
4 | Thailand | 77 |
5 | INDONESIA | 80 |
6 | Vietnam | 83 |
7 | Filipina | 86 |
8 | Kambodia | 108 |
9 | Timor-Leste | 132 |
10 | China | 51 |
11 | India | 69 |
Faktor Penentu Peringkat
Seperti dijelaskan di depan, Indeks Kesiapan Berjejaring ditentukan oleh empat sub-indeks. Di antara ke empat sub-indeks ini, peringkat yang terbaik ada pada sub-indeks lingkungan peraturan dan inovasi bisnis (ke 72) dan kesiapan sarana dan prasarana (ke 74), dan peringkat lebih rendah dalam aspek penggunaan IT (ke 85) dan dampak terhadap ekonomi dan sosial (ke 86). Perbandingan dengan negara lain adalah sebagai berikut. Secara umum, peringkat untuk masing-masing sub-indeks sama dengan peringkat untuk Indeks Kesiapan Berjejaring, hanya dalam beberapa sub-indeks terdapat perbedaan. Dalam hal kesiapan sarana dan prasarana TIK, peringkat Indonesia (ke 74) sedikit lebih baik daripada Thailand (ke 75) dan Brunei Darussalam (ke 87). Sebaliknya, dalam aspek dampak IT, Indonesia (ke 86) tertinggal dari Vietnam (ke 79), dan Filipina (ke 84). Dibandingkan dengan China dan India, Indonesia hanya lebih baik dari India (ke 78) dalam aspek lingkungan. Lihat Tabel 2.
Tabel 2. Indeks Kesiapan Berjejaring ASEAN, China dan India menurut Sub-indeks; 2012
Negara | Lingkungan | Kesiapan | Penggunaan | Dampak | |
1 | Singapura | 1 | 8 | 5 | 1 |
2 | Malaysia | 23 | 55 | 29 | 24 |
3 | Brunei Darussalam | 57 | 87 | 41 | 50 |
4 | Thailand | 59 | 75 | 83 | 85 |
5 | INDONESIA | 72 | 74 | 85 | 86 |
6 | Vietnam | 96 | 86 | 69 | 79 |
7 | Filipina | 111 | 77 | 86 | 84 |
8 | Kambodia | 89 | 106 | 111 | 110 |
9 | Timor-Leste | 129 | 117 | 131 | 133 |
10 | China | 64 | 66 | 51 | 41 |
11 | India | 78 | 64 | 78 | 52 |
Kemampuan suatu negara dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tergantung pada kesiapannya. Dalam sub-indeks Kesiapan ini, Indonesia menempati posisi di tengah-tengah (ke 74). Posisi ini tentu saja tidak menggembirakan karena sebagian besar negara adalah negara berkembang. Jadi diantara negara-negara berkembang pun, kesiapan bangsa Indonesia dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tidak lebih maju. Aspek kesiapan ini ditentukan oleh infrastruktur, kandungan/aplikasi dijital dan keterjangkauan pengguna untuk membeli dan menggunakan sarana informasi dan komunikasi. Dibandingkan negara-negara ASEAN lain, Indonesia unggul dalam aspek aplikasi dijital (peringkat ke 34), hanya Singapura dan Thailand yang mengalahkan Indonesia. Sedangkan dalam aspek infrastruktur pendukung, Indonesia menempati posisi jauh di belakang (ke 103). Dalam aspek keterjangkauan, posisi Indonesia (ke 69) relatif sama dengan Vietnam, Thailand dan Filipina.
Ditinjau dari aspek penggunaan teknologi IT oleh perorangan, bisnis dan pemerintah (sub-indeks ke 3), Indonesia masih harus belajar dari negara-negara ASEAN dan dari China dan India. Secara keseluruhan peringkat Indonesia adalah yang ke 85, berada di belakang Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Thailand. Faktor utama dibalik tingkat penggunaan yang rendah ini adalah penggunaan oleh perorangan (peringkat ke 103) yang tidak semaju negara-negara ASEAN lain. Namun dunia bisnis di Indonesia lebih maju dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ke 49) dibandingkan negara-negara ASEAN lain, kecuali Singapura (ke 14) dan Malaysia (ke 27). Dibandingkan China (ke 51) dan India (78), Indonesia juga secara keseluruhan masih tertinggal.
Selanjutnya dalam hal dampaknya pada perekonomian dan kehidupan sosial (sub-indeks ke 4), Indonesia berada pada posisi yang relatif tertinggal. Secara keseluruhan, peringkat Indonesia adalah di urutan ke 86, jauh di belakang Singapura (ke 1), Malaysia (ke 24) dan sebagian negara-negara ASEAN lain, serta dari China (ke 41) dan India (ke 52). Ketertinggalan Indonesia ini disumbang oleh kenyataan bahwa ICT di Indonesia berpengaruh relatif kecil terhadap perekonomian (ke 106), bandingkan dengan India yang menempati urutan ke 41. Dampak terhadap kehidupan sosial (ke 66), lebih baik dari bidang perekonomian (ke 106), fenomena yang tampak jelas saat proses pilkada DKI berlangsung.
Secara keseluruhan dari sepuluh pilar pembentuk Indeks Kesiapan Berjejaring, pilar terbaik adalah Keterjangkauan (ke 34) dan Penggunaan Bisnis (ke 49). Sedangkan pilar terburuk adalah Penggunaan Perorangan (ke 103) dan Dampak Ekonomi (106). Lihat Tabel 3.
Tabel 3. Indeks Kesiapan Berjejaring Indonesia menurut Pilar; 2012
No | Pilar | Peringkat |
1 | Keterjangkauan | 34 |
2 | Penggunaan bisnis | 49 |
3 | Lingkungan bisnis dan inovasi | 64 |
4 | Dampak sosial | 66 |
5 | Keterampilan | 69 |
6 | Penggunaan pemerintah | 75 |
7 | Lingkungan politik dan peraturan | 88 |
8 | Infrastruktur dan aplikasi dijital | 103 |
9 | Penggunaan perorangan | 103 |
10 | Dampak ekonomi | 106 |
Dari 53 indikator yang dijadikan dasar untuk menghitung Indeks Kesiapan Berjejaring, empat indikator berada di kelompok 40 besar dunia, yaitu keberadaan modal ventura (ke 17), kapasitas inovasi (ke 30), pembelian barang teknologi maju oleh pemerintah (ke 34), tarif selular bergerak (ke 34). Dua indikator yang relatif baik adalah kualitas sistem pendidikan (ke 44), dan penggunaan jaringan sosial virtual (ke 48). Sedangkan indikator yang termasuk dalam peringkat terburuk dunia adalah produksi listrik (ke 109), pitalebar internet internasional (ke 109), server internet aman (ke 109), rumah tangga dengan akses internet (ke 109), pengguna internet (ke 118), dan yang terburuk adalah waktu untuk memulai bisnis (ke 124). Lihat Tabel 4. Beberapa faktor positif yang menentukan Indeks Kesiapan Berjejaring ternyata tidak terkait langsung dengan TIK, seperti keberadaan modal ventura, kapasitas inovasi, pembelian pemerintah untuk barang-barang berteknologi maju, dan tarif seluler yang relatif terjangkau. Demikian juga faktor non-IT juga mempengaruhi secara negatif kecanggihan IT Indonesia, yaitu masalah listrik dan peraturan terkait pendirian perusahaan.
Tabel 4. Peringkat Terbaik dan Terburuk Indikator Kesiapan Berjejaring Indonesia; 2012
No | Indikator Terbaik | Indikator Terburuk |
1 | Keberadaan modal ventura (17) | Produksi listrik (109) |
2 | Kapasitas inovasi (30) | Pitalebar internet internasional (109) |
3 | Pengadaan barang teknologi maju pemerintah (34) | Server internet (109) |
4 | Tarif selular bergerak (34) | Rumah tangga dengan akses internet (109) |
5 | Kualitas sistem pendidikan (44) | Pengguna internet (118) |
6 | Penggunaan jaringan sosial virtual (48) | Waktu untuk memulai bisnis (124) |
Peringkat Indonesia dalam menguasai dan memanfaatkan TIK yang diukur dengan Indeks Kesiapan Berjejaring ternyata tidak begitu menonjol dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain atau negara-negara lain di dunia pada umumnya. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi untuk meningkatkan manfaat TIK. Lingkungan pendukung dan kesiapan infrastruktur perlu diperluas dan ditingkatkan kualitasnya, dan penggunaan TIK dalam berbagai bidang perlu diperhatikan lebih serius lagi.
Agar dapat dikategorikan sebagai negara sekelas dengan China dan India, pemerintah perlu mempunyai target yang lebih tinggi lagi, dengan program-program pengembangan dan penggunaan TIK yang lebih terfokus. Pemerintah perlu mempelopori penggunaan TIK dalam bidang-bidang yang masih lemah, mendorong pelaku bisnis untuk memanfaatkan TIK dan memberi insentif bagi industri dan perguruan tinggi untuk mengembangkan berbagai aplikasi yang bermanfaat. Diharapkan, dengan teknologi informasi dan komunikasi yang lebih tersebar, terjangkau, dengan aplikasi yang semakin beragam, maka kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
–o0o–
Herry Darwanto adalah staf Bappenas (hdarwanto@bappenas.go.id)[1] Dalam kajian tersebut, istilah “ekonomi” digunakan sebagai pengganti istilah “negara” untuk dapat memasukkan entitas ekonomi yang berdiri sendiri namun tidak diakui secara formal sebagai suatu negara yang berdaulat penuh, seperti Taiwan dan Hong Kong. [2] Tingkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di Hong Kong sangat dinikmati oleh para TKI yang dapat berkomunikasi dengan keluarga mereka di tanah air dengan mudah dan murah.
Note: gambar diambil dari sini
Dikunjungi sebanyak 3,575 kali, 1 kunjungan hari ini.
Index kesiapan berjenjang 2012
Senin, 06 Mei 2013
GDP indonesia
Bruce lee : "Saya tdk gentar terhadap orang yg melatih 10.000 macam
tendangan dlm sekali waktu, tetapi saya lebih gentar terhadap orang yg
melatih 1 macam tendangan sebanyak 10.000 kali."hahahaaaaa wataaaaaaaa..........
Indonesia GDP
The Gross Domestic Product (GDP) in Indonesia was worth 846.83 billion US dollars in 2011. The GDP value of Indonesia represents 1.37 percent of the world economy. GDP in Indonesia is reported by the The World Bank Group. Historically, from 1967 until 2011, Indonesia GDP averaged 166.5 USD Billion reaching an all time high of 846.8 USD Billion in December of 2011 and a record low of 6.0 USD Billion in December of 1967. The gross domestic product (GDP) measures of national income and output for a given country's economy. The gross domestic product (GDP) is equal to the total expenditures for all final goods and services produced within the country in a stipulated period of time. This page includes a chart with historical data for Indonesia GDP.
Indonesia GDP
The Gross Domestic Product (GDP) in Indonesia was worth 846.83 billion US dollars in 2011. The GDP value of Indonesia represents 1.37 percent of the world economy. GDP in Indonesia is reported by the The World Bank Group. Historically, from 1967 until 2011, Indonesia GDP averaged 166.5 USD Billion reaching an all time high of 846.8 USD Billion in December of 2011 and a record low of 6.0 USD Billion in December of 1967. The gross domestic product (GDP) measures of national income and output for a given country's economy. The gross domestic product (GDP) is equal to the total expenditures for all final goods and services produced within the country in a stipulated period of time. This page includes a chart with historical data for Indonesia GDP.
GDP | Notes
The gross domestic product (GDP) or gross domestic income (GDI) is one of the measures of national income and output. GDP can be defined in three ways, which should give identical results. First, it is equal to the total expenditures for all final goods and services produced within the country in a specified period of time (usually a 365-day year). Second, it is equal to the sum of the value added at every stage of production by all the industries, plus taxes and minus subsidies on products. Third, it is equal to the sum of the income generated by production like compensation of employees, taxes on production and imports less subsidies, and gross operating surplus.
The gross domestic product (GDP) or gross domestic income (GDI) is one of the measures of national income and output. GDP can be defined in three ways, which should give identical results. First, it is equal to the total expenditures for all final goods and services produced within the country in a specified period of time (usually a 365-day year). Second, it is equal to the sum of the value added at every stage of production by all the industries, plus taxes and minus subsidies on products. Third, it is equal to the sum of the income generated by production like compensation of employees, taxes on production and imports less subsidies, and gross operating surplus.
SWOT dari buku management
The big idea
Any company undertaking strategic planning will at some point assess its
strengths and weaknesses. When combined with an inventory of opportunities
and threats in (or even beyond) the company’s external
environment, the company is effectively making what is called a SWOT
analysis: establishing its current position in the light of its strengths,
weaknesses, opportunities and threats.
When to use it
The first step in carrying out a SWOT analysis is to identify the said
strengths, weaknesses, opportunities and threats. It is important to note
that strengths and weaknesses are intrinsic (potential) value creating
skills or assets, or the lack thereof, relative to competitive forces.
Opportunities and threats, however, are external factors: they are not created
by the company, but emerge as a result of the competitive dynamics
caused by (future) ‘gaps’ or ‘crunches’ in the market.
Strengths
What is the company really good at? Do we benefit from an experienced
sales force, or easy access to raw materials? Do people buy our products
(partly) because of our brand(s) or reputation? Strengths are not: a growing
market, new products, etc.
Weaknesses
Though weaknesses are often seen as the logical ‘inverse’ of the company’s
threats, the company’s lack of strength in a particular discipline ormarket is not necessarily a relative weakness, providing (potential) competitors
lack this particular strength as well.
Strengths and weaknesses can be measured in an internal or external
audit, for example, through benchmarking (see Benchmarking model).
Opportunities and threats occur as a result of external macroenvironmental
forces such as demographic, economic, technological, political,
legal, social and cultural dynamics, as well as external industry-specific
environmental forces such as customers, competitors, distribution channels
and suppliers.
Opportunities
Are any technological developments or demographic changes taking place,
or could demand for your products or services increase as a result of successful
partnerships? Can you perhaps use assets in other ways, introduce
your current products in new markets or turn R&D into cash by licensing
concepts, technologies or selling patents? There are many opportunities.
The level of detail and (perceived) degree of realism determine the extent
of opportunity analysis.
Threats
Your competitor’s opportunity may well be a threat to you. Also, changes
in regulations, substitute technologies and other forces in the competitive
field may pose serious threats to your company: lower sales, higher cost of
operations, higher cost of capital, inability to make break-even, shrinking
margins or profitability, rates of return dropping significantly below
market expectations, etc.
186 Key management models
Increasing fuel price
Probability
Potential impact
Low cost
entrance
Depression
Shift to
Internet
New
technlogy
Opportunities and threats
Both opportunities and threats can be classified according to their
potential impact and actual probability, as illustrated below.
Listing the SWOT is not as easy as it seems. However, the second step of
the SWOT analysis is even more difficult: what actions should your company
take based on its strengths, weaknesses, opportunities and threats?
Should you focus on using the company’s strengths to capitalize on opportunities,
or acquire strengths in order to be able to capture opportunities?
Or should you actively try to minimize weaknesses and avoid threats?
‘SO’ and ‘WT’ strategies are quite obvious. A company should do what
it is good at when the opportunity arises and steer clear of businesses that
it does not have the competencies for. Less obvious and much more daring
are ‘WO’ strategies. When a company decides to take on an opportunity
despite not possessing the requisite strengths, it must either:
develop the required strengths
buy or borrow the required strengths
outmanoeuvre the competition.
Companies that use ‘ST’ strategies essentially ‘buy or bust’ their way out
of trouble. This happens when big players fend off smaller ones by means
of expensive price wars, insurmountable marketing budgets, multiple
channel promotions, etc. Some companies use scenario planning to try
and anticipate and thus be prepared for this type of future threat.
SWOT analysis 187
WT Strategies
Minimize weaknesses
and avoid threats
ST Strategies
Use strengths to avoid
threats
WO Strategies
Take advantage of
opportunities by
overcoming weaknesses
or making them relevant
SO Strategies
Use strengths to take
advantage of
opportunities
Strengths (S) Weaknesses (W)
Opportunities
(O)
Threats
(T)
The final analysis
The value of a SWOT analysis lies mainly in the fact that it constitutes a
self-assessment for management. The problem, however, is that elements
(SWOT) appear deceptively simple. Actually deciding what the strengths
and weaknesses of your organization are, as well as assessing the impact
and probability of opportunities and threats, is far more complex than at
first sight. Furthermore, beyond classification of the SWOT elements, the
model offers no assistance with the tricky task of translating them into
strategic alternatives. The inherent risk of making incorrect assumptions
when assessing the SWOT elements often causes management to dither
when it comes to choosing between various strategic alternatives, frequently
resulting in unnecessary and/or undesirable delays.
188 Key management models
Any company undertaking strategic planning will at some point assess its
strengths and weaknesses. When combined with an inventory of opportunities
and threats in (or even beyond) the company’s external
environment, the company is effectively making what is called a SWOT
analysis: establishing its current position in the light of its strengths,
weaknesses, opportunities and threats.
When to use it
The first step in carrying out a SWOT analysis is to identify the said
strengths, weaknesses, opportunities and threats. It is important to note
that strengths and weaknesses are intrinsic (potential) value creating
skills or assets, or the lack thereof, relative to competitive forces.
Opportunities and threats, however, are external factors: they are not created
by the company, but emerge as a result of the competitive dynamics
caused by (future) ‘gaps’ or ‘crunches’ in the market.
Strengths
What is the company really good at? Do we benefit from an experienced
sales force, or easy access to raw materials? Do people buy our products
(partly) because of our brand(s) or reputation? Strengths are not: a growing
market, new products, etc.
Weaknesses
Though weaknesses are often seen as the logical ‘inverse’ of the company’s
threats, the company’s lack of strength in a particular discipline ormarket is not necessarily a relative weakness, providing (potential) competitors
lack this particular strength as well.
Strengths and weaknesses can be measured in an internal or external
audit, for example, through benchmarking (see Benchmarking model).
Opportunities and threats occur as a result of external macroenvironmental
forces such as demographic, economic, technological, political,
legal, social and cultural dynamics, as well as external industry-specific
environmental forces such as customers, competitors, distribution channels
and suppliers.
Opportunities
Are any technological developments or demographic changes taking place,
or could demand for your products or services increase as a result of successful
partnerships? Can you perhaps use assets in other ways, introduce
your current products in new markets or turn R&D into cash by licensing
concepts, technologies or selling patents? There are many opportunities.
The level of detail and (perceived) degree of realism determine the extent
of opportunity analysis.
Threats
Your competitor’s opportunity may well be a threat to you. Also, changes
in regulations, substitute technologies and other forces in the competitive
field may pose serious threats to your company: lower sales, higher cost of
operations, higher cost of capital, inability to make break-even, shrinking
margins or profitability, rates of return dropping significantly below
market expectations, etc.
186 Key management models
Increasing fuel price
Probability
Potential impact
Low cost
entrance
Depression
Shift to
Internet
New
technlogy
Opportunities and threats
Both opportunities and threats can be classified according to their
potential impact and actual probability, as illustrated below.
Listing the SWOT is not as easy as it seems. However, the second step of
the SWOT analysis is even more difficult: what actions should your company
take based on its strengths, weaknesses, opportunities and threats?
Should you focus on using the company’s strengths to capitalize on opportunities,
or acquire strengths in order to be able to capture opportunities?
Or should you actively try to minimize weaknesses and avoid threats?
‘SO’ and ‘WT’ strategies are quite obvious. A company should do what
it is good at when the opportunity arises and steer clear of businesses that
it does not have the competencies for. Less obvious and much more daring
are ‘WO’ strategies. When a company decides to take on an opportunity
despite not possessing the requisite strengths, it must either:
develop the required strengths
buy or borrow the required strengths
outmanoeuvre the competition.
Companies that use ‘ST’ strategies essentially ‘buy or bust’ their way out
of trouble. This happens when big players fend off smaller ones by means
of expensive price wars, insurmountable marketing budgets, multiple
channel promotions, etc. Some companies use scenario planning to try
and anticipate and thus be prepared for this type of future threat.
SWOT analysis 187
WT Strategies
Minimize weaknesses
and avoid threats
ST Strategies
Use strengths to avoid
threats
WO Strategies
Take advantage of
opportunities by
overcoming weaknesses
or making them relevant
SO Strategies
Use strengths to take
advantage of
opportunities
Strengths (S) Weaknesses (W)
Opportunities
(O)
Threats
(T)
The final analysis
The value of a SWOT analysis lies mainly in the fact that it constitutes a
self-assessment for management. The problem, however, is that elements
(SWOT) appear deceptively simple. Actually deciding what the strengths
and weaknesses of your organization are, as well as assessing the impact
and probability of opportunities and threats, is far more complex than at
first sight. Furthermore, beyond classification of the SWOT elements, the
model offers no assistance with the tricky task of translating them into
strategic alternatives. The inherent risk of making incorrect assumptions
when assessing the SWOT elements often causes management to dither
when it comes to choosing between various strategic alternatives, frequently
resulting in unnecessary and/or undesirable delays.
188 Key management models
Minggu, 05 Mei 2013
NKRi 2
es akan dengan sendirinya terbangun dengan cepat oleh masyarakat sendiri
segera setelah pemerintah membangun pilotproject
jaringan akses, misalnya dalam
bentuk telecenter atau pun jaringan intenet sekolah. Warnet‐warnet akan tumbuh
berkembang dengan pesat karena corenetwork
sudah tersedia.
VII. Sinergi Pemerintah dan Swasta
Sejak terbitnya UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Indonesia berpindah
dari sistem monopoli menjadi oligopoli (multi‐operator dengan kompetisi terbuka).
Kebijakan ini tentu mengubah pola pikir “cabang usaha yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat”. Usaha
penyelenggaraan TIK dilakukan oleh swasta dan BUMN yang juga harus berpikir
swasta. Setiap penyelenggara swasta yang profitoriented
ini tentu akan berpikir
1000‐kali untuk membangun di wilayah‐wilayah yang dianggap tidak profitable.
Sementara itu, lebih dari 50% warga negara tinggal di pedesaan. Populasi terbanyak
terpusat di pulau Jawa. Akibatnya, secara alamiah, para penyelenggara TIK enggan
membangun di wilayah yang populasi dan tingkat kesejahteraannya rendah karena
dianggap belum bisa menguntungkan. Di sisi lain, ketersediaan akses informasi
merupakan kebutuhan dasar untuk dapat mengangkat kualitas hidup masyarakat
yang tertinggal dan dapat menjadi sarana peningkatan produksi dan efisensi bagi
masyarakat yang sudah maju. Karena itu diperlukan kerjasama atau sinergi antara
Pemerintah dan swasta dalam upaya‐upaya penyediaan sarana dan prasarana TIK
di seluruh wilayah NKRI.
Pengusaha swasta yang profitoriented
diharapkan mempercepat pembangunan di
wilayah yang daya‐belinya sudah mencukupi. Dari hasil usahanya itu, lalu sebagian
disetor ke negara sebagai kontribusi USO dari semua pengusaha TIK yang besarnya
saat ini adalah 1,25% x grossrevenue
(PP 07 tahun 2009 tentang Tarif PNBP).
Menkominfo perlu mengatur sinergi antar penyelenggara TIK dalam membangun
corenetwork
karena rentan terjadi oversupply
(duplikasi infrastruktur) yang secara
nasional dapat memboroskan investasi dan dapat mengakibatkan usaha gagal, lalu
kredit macet atau saham “bodong”. Ini adalah bagian dari tugas Pemerintah dalam
memberi perlindungan terhadap investasi.
Pemerintah berkewajiban mengupayakan tersedianya akses informasi (bukan
hanya jaringan akses) untuk wilayah‐wilayah yang dianggap belum menguntungkan
oleh para penyelenggara. Masyarakat global menyebut kewajiban pemerintah ini
dengan universal service obligation (USO. Program USO atau kewajiban pelayanan
universal (KPU) adalah membangun atau menyediakan connectivity untuk seluruh
warga agar mereka semua dapat mengakses informasi dan dapat berhubungan satu
dengan yang lainnya. Yang melaksanakan program USO adalah Pemerintah dengan
dana sebagian (besar) berasal dari kontribusi penyelenggara TIK.
Pemerintah juga berkewajiban mendorong pemanfaatan TIK untuk pemerintahan.
Karena masalah transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan produktifitas dari kinerja
pemerintahan akan sebagian besar dapat diselesaikan dengan memanfaatkan TIK.
DETIKNAS telah mencanangkan 10‐flagship TIK nasional. Maka harus dilanjutkan
dengan aksi‐strategis dengan kerangka pikir sebagaimana diusulkan dalam uraian
sebelumnya (Visi dan Strategi TIK‐Indonesia). Arahan DeTIKnas sudah seharusnya
menjadi anutan utama dalam membangun jaringan TIK broadband nasional. Sinergi
yang sebaiknya dibangun adalah digambarkan berikut ini.
bersama kita bisa ____ 7
Dengan pembagian peran yang baik di antara Pemerintah dan Swasta dalam
membangun jaringan TIK nasional, akan diperoleh hasil sebagaimana yang telah
dicapai oleh negara‐negara maju di dunia. Dengan biaya yang tidak mahal dan sudah
tersedia sebagian, semua yang diharapkan di atas akan dapat diwujudkan. Sebagai
gambaran nyata, berikut disajikan ilustrasi sebagian jaringan yang dapat dibangun
menggunakan dana yang sudah ada, yaitu dana kontribusi USO dari penyelenggara.
Dana sudah tersedia dan pungutan/kontribusi terus berlanjut. Yang diperlukan saat
ini hanyalah aturan yang lebih tepat tentang pengelolaan dana USO tersebut. Saat ini
BTIP(pengelola dana USO) berstatus badan layanan umum (BLU) yang berarti harus
melaksanakan proses bisnis. Padahal tugas pokoknya adalah sebagai “panitia tetap”
lelang dan pengawas pembangunan jaringan TIK di wilayah USO. Selama ber‐status
BLU, maka BTIP akan terikat pada aturan tentang kesehatan bisnis BLU. Bila
Menteri Keuangan menilai tidak sehat, maka status BLU dapat dicabut. Singkat kata,
filosofi BLU sangat berbeda dengan filosofi “membangun jaringan nasional TIK”.
bersama kita bisa ____ 8
VIII. Target yang tidak muluk dan tidak abstrak
Membangun jaringan TIK nasional adalah suatu pekerjaan yang nyata dan mudah
dilakukan. Biayanya pun tidak mahal dibandingkan biaya membangun infrastruktur
yang lain, tapi dampak ekonominya jauh lebih besar. Indikator capaiannya sangat
jelas, baik kualitatif apalagi kuantitatif. Hal ini berlaku di seluruh dunia, karena
teknologi TIK adalah penggerak utama ekonomi dunia saat ini. Berikut ini disajikan
target WSIS (world summit on information society–ITU) yang merupakan commonsense
dari seluruh negara.
Sekali lagi disampaikan bahwa TIK adalah komoditas utama dekade ini. Bagi negara
konsumen teknologi seperti Indonesia, yang terpenting adalah memanfaatkan TIK
sebagai tool dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi di semua sektor. Untuk
itu, menyediakan infrastruktur jaringan TIK bagi seluruh warga negara adalah prasyarat
untuk dapat melibatkan seluruh warga negara dalam meningkatkan kualitas
hidupnya dalam takarannya masing‐masing.
IX. Gambaran kebutuhan Dana
Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan 2‐tahun yang lalu dalam Proyek
Palapa‐Ring, jumlah dana yang diperlukan untuk kawasan timur Indonesia tidaklah
terlalu besar. Berikut ini disajikan rangkumannya. Perlu diperhatikan bahwa ini
hanyalah untuk menghubungkan kota kabupaten saja.
Awalnya diharapkan dibangun oleh konsorsium penyelenggara TIK. Namun karena
dianggap belum layak secara komersial, maka konsorsium yang telah dibentuk
mundur perlahan. Hal ini dapat dimaklumi karena biaya di atas belum mencakup
9
jaringan distribusi (penghubung antar kecamatan dalam kabupaten) yang biayanya
bisa lebih besar. Apabila corenetwork
ini terbangun, maka penyelenggara TIK akan
bersemangat membangun jaringan di bawahnya secara bertahap wilayah‐demiwilayah
hingga seluruh pelosok Indonesia terjangkau jaringan TIK.
bersama kita bisa ____ 10
Apabila sebagian anggaran pendidikan nasional yang 20% dari APBN yang 1000‐T
digunakan untuk membangun corenetwork
nasional kawasan timur Indonesia dan
membangun pilotproject
berupa telecenter atau perpustakaan digital di beberapa
tempat, maka waktu pencapaian sasaran akan semakin singkat. Ilustrasi pendanaan
dan penjadwalannya adalah sebagai berikut.
Asumsi:
‐ Anggaran pendidikan nasional per tahun = Rp. 200 trilyun;
‐ 2% saja untuk core jaringan TIK nasional = Rp. 4 trilyun;
‐ Pungutan kontribusi USO dari pengusaha = Rp. 1,3 trilyun;
‐ Maka Total anggaran per tahun adalah = Rp. 5,3 trilyun per tahun.
Dana yang dibutuhkan untuk infrastruktur core jaringan TIK nasional:
‐ Penghubung kabupaten kawasan timur Indonesia = Rp. 7,5 trilyun;
‐ Ada 84‐kabupaten dan 1661‐kecamatan, bila untuk pilot project dan saluran
fiberoptik
ke tiap kecamatan di‐awali dengan 10‐milyar, berarti diperlukan
dana sekitar Rp. 17 trilyun.
‐ Maka total kebutuhan dana untuk backbone dan distribusi = Rp. 24,5 trilyun.
Dengan dana per tahun sebesar 5,3 trilyun di atas, dalam 5‐tahun semua kecamatan
di kawasan timur Indonesia akan terhubung dengan fiberoptic
(broadband).
X. Penutup
Tulisan ini adalah sekedar kontribusi pemikiran dari seorang tukang‐insinyur TIK.
Tidak dimaksudkan untuk menggurui, karena penulis tahu bahwa banyak pakar TIK
di negeri ini. Namun mungkin sangat sibuk, sehingga tidak sempat menuliskan dan
berbagi apa yang dimiliki. Kami saja yang kebanyakan waktu luang sehingga sempat
menulis tulisan ini. Semoga ada yang mau membaca dan membawa manfaat. Andai
benar adanya, kami sangat berterima kasih karena ada kemungkinan kami akan
mendapat pahala dari yang maha kuasa. Amin.
Pada saat negara lain sudah sangat maju berkat pemanfaatan TIK yang baik, bila
Indonesia tidak segera mengejar ketertinggalannya, maka dipastikan kesenjangan
itu akan menjadi semakin besar. Daya saing nasional akan semakin lemah, wilayah
kepulauan yang beribu jumlahnya akan semakin terbengkalai. NKRI akan terancam
keutuhannya. Jaringan TIK broadband nasional lah perekatnya.
Andai Presiden SBY mengetahui hal yang kami tulis ini, pasti beliau dalam waktu
yang sangat singkat akan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan
dan pelaksanaan USO‐broadband Indonesia. Karena dana sudah ada dan pungutan
terus berjalan. Saat ini saja sudah terkumpul 3,5 Trilyun di rekening BTIP‐Ditjen
Postel dan setiap tahun terkumpul sebesar 1,3 Trilyun Rupiah. Cukup hanya dengan
membuat sebuah PP, maka peruntukan dana ini akan menjadi sesuai dengan
rencana semula dan pembangunan jaringan TIK broadband nasional akan tertata
dengan jauh lebih baik. Bapak Presiden akan nyaman menggunakan i‐Pad dimana
saja di seluruh negeri, kualitas pendidikan di semua sekolah dapat meningkat pesat,
industri kreatif khas daerah berbasis kearifan lokal akan tumbuh dan mengurangi
urbanisasi, pengenalan potensi daerah menjadi lebih mudah, komunikasi antara
pusat dan daerah menjadi lebih intens, dan persatuan NKRI menjadi jauh lebih kuat
karena corenetwork
terbangun dengan lebih terstruktur.
segera setelah pemerintah membangun pilotproject
jaringan akses, misalnya dalam
bentuk telecenter atau pun jaringan intenet sekolah. Warnet‐warnet akan tumbuh
berkembang dengan pesat karena corenetwork
sudah tersedia.
VII. Sinergi Pemerintah dan Swasta
Sejak terbitnya UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Indonesia berpindah
dari sistem monopoli menjadi oligopoli (multi‐operator dengan kompetisi terbuka).
Kebijakan ini tentu mengubah pola pikir “cabang usaha yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat”. Usaha
penyelenggaraan TIK dilakukan oleh swasta dan BUMN yang juga harus berpikir
swasta. Setiap penyelenggara swasta yang profitoriented
ini tentu akan berpikir
1000‐kali untuk membangun di wilayah‐wilayah yang dianggap tidak profitable.
Sementara itu, lebih dari 50% warga negara tinggal di pedesaan. Populasi terbanyak
terpusat di pulau Jawa. Akibatnya, secara alamiah, para penyelenggara TIK enggan
membangun di wilayah yang populasi dan tingkat kesejahteraannya rendah karena
dianggap belum bisa menguntungkan. Di sisi lain, ketersediaan akses informasi
merupakan kebutuhan dasar untuk dapat mengangkat kualitas hidup masyarakat
yang tertinggal dan dapat menjadi sarana peningkatan produksi dan efisensi bagi
masyarakat yang sudah maju. Karena itu diperlukan kerjasama atau sinergi antara
Pemerintah dan swasta dalam upaya‐upaya penyediaan sarana dan prasarana TIK
di seluruh wilayah NKRI.
Pengusaha swasta yang profitoriented
diharapkan mempercepat pembangunan di
wilayah yang daya‐belinya sudah mencukupi. Dari hasil usahanya itu, lalu sebagian
disetor ke negara sebagai kontribusi USO dari semua pengusaha TIK yang besarnya
saat ini adalah 1,25% x grossrevenue
(PP 07 tahun 2009 tentang Tarif PNBP).
Menkominfo perlu mengatur sinergi antar penyelenggara TIK dalam membangun
corenetwork
karena rentan terjadi oversupply
(duplikasi infrastruktur) yang secara
nasional dapat memboroskan investasi dan dapat mengakibatkan usaha gagal, lalu
kredit macet atau saham “bodong”. Ini adalah bagian dari tugas Pemerintah dalam
memberi perlindungan terhadap investasi.
Pemerintah berkewajiban mengupayakan tersedianya akses informasi (bukan
hanya jaringan akses) untuk wilayah‐wilayah yang dianggap belum menguntungkan
oleh para penyelenggara. Masyarakat global menyebut kewajiban pemerintah ini
dengan universal service obligation (USO. Program USO atau kewajiban pelayanan
universal (KPU) adalah membangun atau menyediakan connectivity untuk seluruh
warga agar mereka semua dapat mengakses informasi dan dapat berhubungan satu
dengan yang lainnya. Yang melaksanakan program USO adalah Pemerintah dengan
dana sebagian (besar) berasal dari kontribusi penyelenggara TIK.
Pemerintah juga berkewajiban mendorong pemanfaatan TIK untuk pemerintahan.
Karena masalah transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan produktifitas dari kinerja
pemerintahan akan sebagian besar dapat diselesaikan dengan memanfaatkan TIK.
DETIKNAS telah mencanangkan 10‐flagship TIK nasional. Maka harus dilanjutkan
dengan aksi‐strategis dengan kerangka pikir sebagaimana diusulkan dalam uraian
sebelumnya (Visi dan Strategi TIK‐Indonesia). Arahan DeTIKnas sudah seharusnya
menjadi anutan utama dalam membangun jaringan TIK broadband nasional. Sinergi
yang sebaiknya dibangun adalah digambarkan berikut ini.
bersama kita bisa ____ 7
Dengan pembagian peran yang baik di antara Pemerintah dan Swasta dalam
membangun jaringan TIK nasional, akan diperoleh hasil sebagaimana yang telah
dicapai oleh negara‐negara maju di dunia. Dengan biaya yang tidak mahal dan sudah
tersedia sebagian, semua yang diharapkan di atas akan dapat diwujudkan. Sebagai
gambaran nyata, berikut disajikan ilustrasi sebagian jaringan yang dapat dibangun
menggunakan dana yang sudah ada, yaitu dana kontribusi USO dari penyelenggara.
Dana sudah tersedia dan pungutan/kontribusi terus berlanjut. Yang diperlukan saat
ini hanyalah aturan yang lebih tepat tentang pengelolaan dana USO tersebut. Saat ini
BTIP(pengelola dana USO) berstatus badan layanan umum (BLU) yang berarti harus
melaksanakan proses bisnis. Padahal tugas pokoknya adalah sebagai “panitia tetap”
lelang dan pengawas pembangunan jaringan TIK di wilayah USO. Selama ber‐status
BLU, maka BTIP akan terikat pada aturan tentang kesehatan bisnis BLU. Bila
Menteri Keuangan menilai tidak sehat, maka status BLU dapat dicabut. Singkat kata,
filosofi BLU sangat berbeda dengan filosofi “membangun jaringan nasional TIK”.
bersama kita bisa ____ 8
VIII. Target yang tidak muluk dan tidak abstrak
Membangun jaringan TIK nasional adalah suatu pekerjaan yang nyata dan mudah
dilakukan. Biayanya pun tidak mahal dibandingkan biaya membangun infrastruktur
yang lain, tapi dampak ekonominya jauh lebih besar. Indikator capaiannya sangat
jelas, baik kualitatif apalagi kuantitatif. Hal ini berlaku di seluruh dunia, karena
teknologi TIK adalah penggerak utama ekonomi dunia saat ini. Berikut ini disajikan
target WSIS (world summit on information society–ITU) yang merupakan commonsense
dari seluruh negara.
Sekali lagi disampaikan bahwa TIK adalah komoditas utama dekade ini. Bagi negara
konsumen teknologi seperti Indonesia, yang terpenting adalah memanfaatkan TIK
sebagai tool dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi di semua sektor. Untuk
itu, menyediakan infrastruktur jaringan TIK bagi seluruh warga negara adalah prasyarat
untuk dapat melibatkan seluruh warga negara dalam meningkatkan kualitas
hidupnya dalam takarannya masing‐masing.
IX. Gambaran kebutuhan Dana
Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan 2‐tahun yang lalu dalam Proyek
Palapa‐Ring, jumlah dana yang diperlukan untuk kawasan timur Indonesia tidaklah
terlalu besar. Berikut ini disajikan rangkumannya. Perlu diperhatikan bahwa ini
hanyalah untuk menghubungkan kota kabupaten saja.
Awalnya diharapkan dibangun oleh konsorsium penyelenggara TIK. Namun karena
dianggap belum layak secara komersial, maka konsorsium yang telah dibentuk
mundur perlahan. Hal ini dapat dimaklumi karena biaya di atas belum mencakup
9
jaringan distribusi (penghubung antar kecamatan dalam kabupaten) yang biayanya
bisa lebih besar. Apabila corenetwork
ini terbangun, maka penyelenggara TIK akan
bersemangat membangun jaringan di bawahnya secara bertahap wilayah‐demiwilayah
hingga seluruh pelosok Indonesia terjangkau jaringan TIK.
bersama kita bisa ____ 10
Apabila sebagian anggaran pendidikan nasional yang 20% dari APBN yang 1000‐T
digunakan untuk membangun corenetwork
nasional kawasan timur Indonesia dan
membangun pilotproject
berupa telecenter atau perpustakaan digital di beberapa
tempat, maka waktu pencapaian sasaran akan semakin singkat. Ilustrasi pendanaan
dan penjadwalannya adalah sebagai berikut.
Asumsi:
‐ Anggaran pendidikan nasional per tahun = Rp. 200 trilyun;
‐ 2% saja untuk core jaringan TIK nasional = Rp. 4 trilyun;
‐ Pungutan kontribusi USO dari pengusaha = Rp. 1,3 trilyun;
‐ Maka Total anggaran per tahun adalah = Rp. 5,3 trilyun per tahun.
Dana yang dibutuhkan untuk infrastruktur core jaringan TIK nasional:
‐ Penghubung kabupaten kawasan timur Indonesia = Rp. 7,5 trilyun;
‐ Ada 84‐kabupaten dan 1661‐kecamatan, bila untuk pilot project dan saluran
fiberoptik
ke tiap kecamatan di‐awali dengan 10‐milyar, berarti diperlukan
dana sekitar Rp. 17 trilyun.
‐ Maka total kebutuhan dana untuk backbone dan distribusi = Rp. 24,5 trilyun.
Dengan dana per tahun sebesar 5,3 trilyun di atas, dalam 5‐tahun semua kecamatan
di kawasan timur Indonesia akan terhubung dengan fiberoptic
(broadband).
X. Penutup
Tulisan ini adalah sekedar kontribusi pemikiran dari seorang tukang‐insinyur TIK.
Tidak dimaksudkan untuk menggurui, karena penulis tahu bahwa banyak pakar TIK
di negeri ini. Namun mungkin sangat sibuk, sehingga tidak sempat menuliskan dan
berbagi apa yang dimiliki. Kami saja yang kebanyakan waktu luang sehingga sempat
menulis tulisan ini. Semoga ada yang mau membaca dan membawa manfaat. Andai
benar adanya, kami sangat berterima kasih karena ada kemungkinan kami akan
mendapat pahala dari yang maha kuasa. Amin.
Pada saat negara lain sudah sangat maju berkat pemanfaatan TIK yang baik, bila
Indonesia tidak segera mengejar ketertinggalannya, maka dipastikan kesenjangan
itu akan menjadi semakin besar. Daya saing nasional akan semakin lemah, wilayah
kepulauan yang beribu jumlahnya akan semakin terbengkalai. NKRI akan terancam
keutuhannya. Jaringan TIK broadband nasional lah perekatnya.
Andai Presiden SBY mengetahui hal yang kami tulis ini, pasti beliau dalam waktu
yang sangat singkat akan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan
dan pelaksanaan USO‐broadband Indonesia. Karena dana sudah ada dan pungutan
terus berjalan. Saat ini saja sudah terkumpul 3,5 Trilyun di rekening BTIP‐Ditjen
Postel dan setiap tahun terkumpul sebesar 1,3 Trilyun Rupiah. Cukup hanya dengan
membuat sebuah PP, maka peruntukan dana ini akan menjadi sesuai dengan
rencana semula dan pembangunan jaringan TIK broadband nasional akan tertata
dengan jauh lebih baik. Bapak Presiden akan nyaman menggunakan i‐Pad dimana
saja di seluruh negeri, kualitas pendidikan di semua sekolah dapat meningkat pesat,
industri kreatif khas daerah berbasis kearifan lokal akan tumbuh dan mengurangi
urbanisasi, pengenalan potensi daerah menjadi lebih mudah, komunikasi antara
pusat dan daerah menjadi lebih intens, dan persatuan NKRI menjadi jauh lebih kuat
karena corenetwork
terbangun dengan lebih terstruktur.
Langganan:
Postingan (Atom)